Pembahasan
Kasus PHK Dominasi Masalah Perburuhan di Jawa Tengah
TEMPO Interaktif, Semarang - Direktur
Yayasan Wahyu Sosial Semarang, Khotib, menyatakan selama 2009 masalah
perburuhan di Jawa Tengah didominasi banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja
(PHK). "Dengan alasan efisiensi, pengusaha dan perusahaan seenaknya
mem-PHK para buruhnya," kata Khotib di kantornya, Senin (28/12). Khotib
menyatakan para pengusaha lebih suka pakai atau malahan lebih mendorong sistem
kerja kontrak dari pada pakai sistem buruh tetap. Meski praktek itu
diperbolehkan sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, tapi perubahan status itu sangat merugikan kalangan buruh.
Parahnya lagi, PHK yang dilakukan perusahaan itu rata-rata dilakukan secara
sepihak. "Keputusannya tidak melibatkan buruh," kata dia.
Selain kasus PHK, kasus
perburuhan di Jawa Tengah adalah belum terjaminnya jaminan sosial tenaga kerja
(Jamsostek), perlindungan kesehatan buruh yang masih buruk, serta masih
banyaknya buruh yang menerima upah tidak sesuai dengan upah minimum
kabupaten/kota yang sudah ditetapkan Gubernur Jawa Tengah.
Menurut KBBI:
Buruh/bu·ruh/ n orang yang bekerja untuk
orang lain dengan mendapat upah; pekerja.
Pada dasarnya, buruh,
Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. namun dalam kultur
Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina,
kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan adalah
sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh
yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja. akan tetapi pada
intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. hal
ini terutama merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum
untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.
Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:
• Buruh
profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
• Buruh
kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja
Seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin modern, dan persaingan pasar yang semakin
ketat. Banyak perusahaan yang memilih menggunakan mesin atau robot untuk
memaksimalkan kegiatan produksinya tidak cuman itu, bahkan ada pula perusahaan
yang memilih mengurangi pekerja yang sudah lama (tua) dan mengganti dengan
pekerja yang baru lulus SMA/K. karena hal tersebut, perusahaan mengeluarkan
senjatanya berupa PHK.
PHK adalah singkatan
dari kata pemutusan hubungan kerja yaitu pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja dan perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri,
pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Jika penyebabnya
seperti 3 hal tadi, mungkin itu tidak menimbulkan masalah dan masih dapat diterima
para pekerja. Namun seringkali penyebab PHK itu adalah hal yang tidak masuk
akal, seperti: pengurangan pekerja namun tak berapa lama perusahaan itu membuka
lowongan pekerjaan lagi.
Untuk mengatasi hal
tersebut Pekerja atau buruh dilindungi haknya untuk terhindar dari Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan sepihak oleh pemilik modal. Kalaupun PHK
tidak bisa dihindari, maka perundingan wajib dilakukan antara pihak
buruh/pekerja dengan pihak perusahaan. Bila jalan keluar tidak juga ditemukan, maka
perusahaan boleh melakukan PHK dengan catatan sudah ditetapkan secara resmi
oleh lembaga yang berwenang melakukan itu. Perlu diketahui bahwa perusahaan
tidak boleh melakukan PHK atas dasar perbedaan pandangan atau bila seorang
pekerja berhalangan kerja karena sakit.
Namun sering ada kasus
di mana PHK tidak bisa dihindari karena perusahaan melakukan efisiensi tertentu
di mana pengurangan buruh/karyawan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan.
Bila demikian yang
terjadi, maka ada sejumlah ketentuan tentang jumlah uang pesangon yang diatur
di dalam pasal 156 ayat 1 UU 13/2013 mengenai ketenagakerjaan. Di dalam ayat
tersebut tertulis dengan jelas bahwa pengusaha diwajibkan membayar uang
penghargaan atau uang pesangon kepada pekerja yang mengalami PHK.
Meskipun seorang
pengusaha tidak boleh memutuskan hubungan kerja secara sepihak, namun
perusahaan tetap bisa melakukan hal tersebut. UU no. 13/2003 menyebut bahwa
pihak perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja bila terdapat kondisi
sebagai berikut:
- Pekerja
mengundurkan diri atas kesadaran sendiri.
- Pengunduran
diri karena kontrak kerja berakhir.
- Pengunduran
diri dikarenakan usia pensiun.
- Pekerja
yang mangkir terus menerus bisa menerima PHK.
- Perusahaan
mengalami kerugian dan pada akhirnya harus ditutup karena bangkrut.
- Seorang
pekerja yang ditahan pihak berwajib juga bisa diputuskan hubungan
kerjanya.
- Bila
pekerja melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan
perusahaan, maka perusahaan bisa melakukan PHK.
Sumbernya:
0 komentar:
Posting Komentar