1. I Putu Ngurah Sudarma
Seperti wirausaha lainnya, I Putu Ngurah
Sudarma, sering disapa Ngurah, memulai usahanya dari nol dan juga mengalami
jatuh-bangun. Setelah sempat bekerja di sebuah kasino di Singapura selama dua
tahun usai menyelesaikan pendidikannya di STIE Pariwisata Yapari-Aktripa
Bandung tahun 2004, Ngurah pulang ke Bali dan mencoba peruntungannya bekerja di
kapal pesiar. Berkali-kali tes, gagal terus. Karena keinginannya yang besar,
Ngurah bahkan rela membayar Rp 40 juta kepada sebuah biro penyalur tenaga kerja
untuk memuluskan jalan. Sambil menunggu panggilan, dia bekerja di salah satu
spa di Ubud.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak. Saat memasuki bulan kedua, dia tidak juga mendapat panggilan berlayar.
Saat itu Ngurah baru sadar ternyata dia telah menjadi korban penipuan. Uang raib,
kesempatan berlayar pun tinggal mimpi. Namun, di spa tempatnya bekerja, dia
malah menemukan belahan jiwanya, Komang Astini, dan menikahinya di awal 2007.
Pasangan
muda ini akhirnya mantap keluar dari tempat mereka bekerja saat Ngurah merasa
ide-ide yang mereka ajukan ditolak mentah-mentah oleh sang pemilik spa.
Berbekal pinjaman orang tuanya di salah satu
bank perkreditan rakyat sebesar Rp 60 juta, Ngurah mengontrak sebidang tanah
bekas tempat pembuangan sampah dekat tempat kos dia bersama sang istri. Alasannya?
“Itulah tempat termurah,” ujar Ngurah sambil tertawa berderai. Dia menyebut
angka Rp 10 juta untuk 10 tahun. Bangunan sederhana seluas 6 x 12 m2 berlantai
semen kasar dan dinding tanpa polesan, yang dibagi menjadi dua ruangan, menjadi
cikal bakal Sang Spa yang resmi dibuka pada 1 Januari 2008 dengan dua terapis:
Ngurah dan Astini. Semua pekerjaan memang harus mereka kerjakan sendiri. Untuk memperkenalkan Sang Spa yang terletak di
gang kecil di Jalan Jembawan, Ubud, yang tak jarang disangka kandang kuda itu,
Ngurah dengan motor tuanya menyebarkan 1.000 brosur yang sebagian hanya berupa
hasil fotokopi. Motor tua itu juga yang dipakainya untuk mengantar-jemput tamu
tanpa biaya tambahan sebagai bonus bagi pelanggan.
Kini antar-jemput dengan motor tua dan
“kandang kuda” itu tinggal kenangan. Bangunan di atas bekas pembuangan sampah
itu kini dijadikan rumah tinggal bagi 13 anak asuh yang disekolahkan di sekolah
formal sambil dididik menjadi terapis. Motor tua itu pun sudah diganti menjadi
dua minibus dan satu BMW. Layanan antar-jemput untuk area sekitar Ubud masih
gratis. Tarif khusus diterapkan untuk area di luar Ubud.
Awalnya,
kerja keras pasangan ini menghasilkan Rp 980.000 di bulan pertama dan meningkat
menjadi Rp 5,6 juta di bulan kedua. “Masih sangat jauh dari utang yang harus
dilunasi,” ujar Ngurah. Tak pelak, Astini pun sempat patah semangat dan
berencana mencari pekerjaan lain saja agar bisa membantu melunasi utang. Namun,
cinta dan semangat Ngurah berhasil meyakinkan Astini untuk bersama-sama lagi
menjalankan dan membangun Sang Spa yang merupakan singkatan: “s” dari nama ayah
yang memberinya modal, “a” dari Astini dan “ng” dari Ngurah.
Bulan ketiga Sang Spa berhasil mengumpulkan Rp
15 juta dan mulai mempekerjakan seorang karyawan untuk membantu mereka. Sejak
itu, pendapatan meningkat terus hingga akhirnya pada Agustus 2009, Ngurah
memutuskan membuka cabang, Sang Spa 2, di atas tanah sewaan seluas 600 m2 yang
hanya berjarak 100 meter dari Sang Spa 1. Agustus 2010, Ngurah mengambil alih
kontrak sebuah spa di Jalan Monkey Forest, Ubud, menjadi Sang Spa 3. Agustus
2012 Ngurah sempat membuka Sang Spa di Kuta, tetapi akhirnya diputuskan ditutup
dan berkonsentrasi untuk mengembangkan spa di Ubud saja dulu.
Pria kelahiran Singaraja 10 Juni 1980 ini
sejak awal telah menerapkan standar pelayanan yang wajib diterapkan para
terapisnya yang kini berjumlah 68 orang. Calon terapis diwajibkan mengikuti
pelatihan selama tiga bulan, tetapi setelah melewati bulan pertama mereka akan
diberi kesempatan bekerja dengan didampingi terapis senior. “Sehingga, saat training pun mereka sudah bisa menghasilkan,”
ungkap Ngurah sambil menambahkan, bila lolos, mereka terikat kontrak dua tahun.
Kini dengan penghasilan rata-rata Rp 3,6
miliar per tahun, pasangan Ngurah-Astini jelas sudah bisa bernapas lega. Namun,
mereka tetap memutuskan tinggal di tempat kos sederhana yang sejak awal mereka
tempati sehingga bisa lebih mudah memantau bisnis dan aktivitas anak-anak asuh.
Media sosial dipakai Ngurah sebagai ajang
promosi paling efektif. Hampir 60% tamu yang berkunjung merupakan tamu online yang berasal dari Australia, Jepang,
China, Malaysia, Singapura, dan beberapa negara Eropa.
Di bawah bendera PT Ngurah Sudarma, pada tahun
2014 ini Ngurah akan fokus untuk membangun sistem dan manajemen sehingga dalam
tiga tahun ke depan cita-citanya menjadi konsultan spa bisa dia raih. Tak lama
lagi, dia juga akan membuka kafe yang berlokasi di seberang Sang Spa 2 yang
khusus menyediakan minuman sehat berbahan herbal. Selain itu, Ngurah pun sedang
membangun sebuah vila di daerah Pejeng.
“Semuanya memang bermula dari mimpi, motivasi
dan semangat,” kata penggemar buku-buku biografi dan motivasi ini
I.G.N. Anom namanya, atau lebih akrab
dipanggil Ajik Anom. beliau lahir dibesarkan di daerah Tangguwisia, sebuah desa
kecil di kecamatan Seririt, kabupaten Buleleng, Bali. Pak anom adalah anak
bungsu dari 7 bersaudara yang hidup sangat dekat dengan kemiskinan dalam
keluarga petani. Saat hari kelulusan tiba, beliau dinyatakan lulus SMP dan
dapat melanjutkan studinya di SMA yang berjarak 3km dari rumahnya. Tetapi saat
sedang menjalankan studinya sang ayah memintanya untuk berhenti karena keadaan
ekonomi keluarganya yang kekurangan. karena kejadian itu beliau merasa tidak di
perlakukan dengan adil seperti kakak-kakaknya.
Akhirnya beliau pergi dari rumah
dengan truk menuju denpasar. Setibanya di denpasar beliau melanjutkan
perjalanannya dengan berjalan kaki dengan keadaan kelaparan yang tidak
dihiraukannya. Dia mendapatkan minum dari air sungai yang mengalir. Hingga
akhirnya beliau memutuskan untuk beristirahat di depan Pos satpam Hotel Rani.
disana beliau melakukan aksi bersih-bersih dengan memunguti sampah di sekitar
gardu pos. Beliau melakukan itu hanya untuk menunjukkan tekad untuk bekerja dan
berusaha menunjukkan keberadaannya disana. Hingga akhirnya aksi itu dilihat
langsung oleh pemilik hotel rani dan menghampirinya. Di kesempatan itu beliau
meminta izin agar diperbolehkan menetap di pos satpam dan berjanji akan menjaga
keamanan dan kebersihan disana.
Selama bekerja disana beliau juga membantu
mencuci kendaraan para tamu di hotel rani hingga setiap harinya beliau
mengumpulkan uang tidak kurang dari Rp2500 per harinya. Jumlah yan cukup besar
saat itu. Hampir 2 tahun beliau melakukan itu. Hingga akhirnya fisiknya tidak
mendukung karena reumatic terlalu sering bergumul dengan air. Akhirnya beliau
menumpang tinggal di rumah pamannya yang mempunyai konveksi kecil-kecilan.
Lalu
beliau menemui pemilik konfeksisi sidharta yang selalu memberikan pekerjaan
jahitan di konfeksi pamannya. Melihat kesungguhan beliau akhirnya pak sidharta,
pemilik konfeksi sidharta memberikan kesempatan kepada beliau untuk menjadi
pegawainya dengan tugas pertama sebagai pekerja lapangan mengatar dan mengambil
keperluan jahitan. Hingga akhirnya beliau menikah dan membuka usaha konfeksi
sendiri bersama istrinya. Lambat laun usaha konfeksinya mendapat banyak order
dari pbrik,hotel,dll. Dengan tekad memperluas bisnisnya, akhirnya beliau
membuka toko baju kaos dan memberikan trade mark usaha
konfeksinya dengan nama Cok Konfeksi yang berada tak jauh dari gedung Art
Center yang berperan sebagaipusat kegiatan pesta seni dan budaya Bali.
Dalam
jangka waktu yang sebentar Cok Konfeksi berhasil dianggap sebagai salah satu
industri besar di bali. Setelah usaha konfeksinya berhasil, beliau berinisiatif
membuat sentral usaha yang memanfaatkan arus wisatawan yang berkunjung ke bali.
Akhirnya beliau membuka pusat oleh-oleh bali yang bernama Krisna Oleh-Oleh Khas Bali yang
menjual berbagai pernak-pernik khas bali sepertianeka cemilan, kaos anak, kaos
dewasa, batik, aksesoris pria dan wanita, lukisan, bedcover, kain pantai,
kerajinan kayu, alas kaki hingga frame foto beserta beragam kaos made in Cok
Konfeksi. Konsepnya sederhana. Pusat oleh-oleh didirikan di dekat pusat
kesenian. Tiap toko harus memiliki parkir yang luas supaya pelanggan puas.
Total, Beliau sudah memiliki 1.500 karyawan di belasan outlet Krisna. Karena
ketekunan dan kerjakerasnya saat ini Bapak I.G.N Anom telah mendirikan 5 cabang
Outlet krisna di Bali. Banyak yang bisa kita ambil dari perjuangan beliau
hingga bisa menjadi pengusaha yang sukses yang di awali kerja keras. Semoga
bahasan saya dapat membantu anda.
Usia muda kini tak lagi menghalangi seseorang untuk bisa
sukses menapaki karir di dunia usaha. Salah satunya saja seperti Tria Yulika
Wulansari (26) yang berhasil merintis bisnis katering dan aneka kue di
Kecamatan Mijen, Demak meskipun usianya bisa dikatakan relatif masih sangat
muda.
Mengawali usaha pada tahun 2005 silam, wanita yang
menggunakan nama Wulansari sebagai brand produknya ini mengaku bahwa ide awal
merintis bisnis katering dan aneka kue ini karena di sekitar rumahnya belum ada
yang berjualan snack ataupun jajanan pasar. “Ibu kami dulu seorang ketua PKK,
bila ada kegiatan atau rapat bingung mencari snack dan jajanan pasar. Pada saat
itulah ibu mendirikan usaha dengan brand “WULANSARI CATERING” hingga berjalan
sampai sekarang,” ungkap Wulansari.
Di usianya yang masih muda, Wulansari mengaku awalnya tak
mudah untuk meneruskan bisnis
katering yang telah dirintis sang ibu. “Saat ini perkembangan usaha
kami seperti berjalan di tempat. Kendalanya untuk meningkatkan dan memperluas
market penjualan di beberapa kota, sehingga sampai saat ini produk kami
marketnya hanya di sekitar wilayah rumah saja,” tuturnya.
Meski sampai hari ini perkembangan bisnis Wulansari
katering belum mencapai titik maksimal, namun dengan modal awal sekitar Rp
500.000,00 kini Wulansari telah menjadi salah satu bisnis
makanan di daerah Demak yang memiliki varian produk cukup beragam.
“Wulansari katering memproduksi berbagai macam jenis snack kering, kue basah,
bakery, dan aneka olahan ikan. Untuk kisaran harga produk sekitar Rp
2.000,00 sampai Rp 15.000,00,” kata pengusaha muda tersebut.
Dibantu dua orang karyawannya, Wulansari bisa memproduksi
sekitar 300 bungkus roti, snack, ataupun produk olahan ikan dalam sehari.
Memanfaatkan bahan baku produksi dari pasar tradisional maupun toko bahan kue
yang ada di sekitar rumahnya, Wulansari mengaku saat ini omzet yang diterima
setiap bulannya sekitar Rp 1 juta.
“Saat ini market penjualan kami masih di wilayah sekitar
kecamatan Mijen dan omzetnya juga belum terlalu besar. Tapi saya senang bisa
memberdayakan tetangga yang pengangguran untuk meningkatkan taraf hidup
mereka,” ucap Wulansari.
Ketika ditanya harapan ke depan untuk perkembangan bisnis
makanannya, Wulansari menuturkan bahwa ia
ingin membuka cabang usaha di kota lain dan memperkenalkan produk unggulan
Wulansari katering di semua kalangan masyarakat luas. “Pasti kami ingin punya
cabang usaha, tapi kami tidak muluk-muluk dalam waktu dekat ini. Target kami
dalam waktu dekat yaitu memperkenalan usaha maupun produk kami sehingga bisa
dinikmati semua kalangan masyarakat,” harapnya.
Tak lupa juga Wulansari berpesan kepada kalangan anak muda
yang ingin merintis usaha, yang terpenting adalah telaten, ulet, kerja keras,
dan selalu mengembangkan kreativitas dan inovasi baik dari segi ide usaha
maupun pengembangan produk.
Memulai
bisnis keripik dengan
modal kecil, Suyani (29) sukses menjalankan bisnis makanan khas Malang setelah
gagal pada bisnis sebelumnya. Suyani mengawali bisnisnya karena melihat sebuah
tanggal cantik. Menurutnya, tanggal yang cantik (20-10-2010) harus dimanfaatkan
sebagai moment yang baik. Maka, lahirlah bisnis keripik dengan brand
Keripik Suy Store.
Akhirnya,
Suyani pun memanfaatkan tanggal tersebut untuk menjajakan produk bisnis
oleh-oleh keripik tempe khas Malang. Suyani mulai memotret 3 bungkus keripik
tempe senilai 10 ribu rupiah dan mengunggahnya di facebook untuk dipasarkan
secara online.
Tiga
bulan berjalan, bisnis online keripiknya masih belum mendapat respon
baik karena saat itu pemasaran online belum seramai saat ini. Di bulan
berikutnya, Suyani menjalankan strategi baru dengan membuka berbagai rekening
bank. Dari yang semula hanya BCA, bertambah menjadi bank Mandiri, BRI, dan BNI.
Strategi tersebut membuahkan hasil customer pun sedikit demi sedikit meningkat.
Tidak
sampai di situ, Suyani pun mulai mempelajari tipikal dan memetakan customernya
untuk meningkatkan penjualan bisnis keripik tempe. Ia pun menerapkan strategi
pemasaran online dengan membuat website dan mengoptimasinya dengan teknik SEO.
Ia juga terus membenahi pemasarannya melalui jejaring sosial, seperti facebook
dengan teknik promo.
Setelah
bisnis oleh-oleh makanan khas Malang ini berjalan selama 3 tahun, Suyani merasa
melakukan kesalahan karena ia belum memiliki toko offline. Dengan dana yang
terbatas ia kemudian menyewa sebuah toko di Jalan Candi panggung 31, Malang.
Baru berjalan dua bulan, Suyani pun harus pindah tempat. Beruntung, Suyani
bertemu dengan orang baik yang mau menyewakan tokonya dengan harga terjangkau.
Saat
keadaan mulai membaik, Suyani pun mencoba untuk merekrut karyawan. Meski
terdapat ketakutan, kalau-kalau ia tidak bisa menggaji karyawannya.
Kekhawatiran tersebut akhirnya dibayar dengan keberhasilan Suyani
menggaet INVESTOR . Hingga saat ini hampir lima tahun berjalan, ia telah mampu
mengembangkan usahanya. Ke depan, ia ingin membuka setidaknya 1 toko cabang
lagi di tahun 2015.
Produk
bisnis makanan khas Malang yang saat ini ia jual adalah keripik tempe, buah,
bakso udang, singkong, pisang, jamur, bayam, tahu, jagung, belut, dan kentang.
Produk
keripik
tersebut didapatkan Suyani dari sekitar 16 pabrik keripik yang ada di Malang.
Seluruh produknya dijual dengan harga yang ekonomis, berkisar Rp 4.000,- sampai
Rp 15.000,-. Suyani dibantu oleh seorang karyawan untuk menjaga toko. Pemasaran
produk keripik Suyani telah mencapai berbagai wilayah di Indonesia, seperti
Jabodetabek, Batam, Denpasar, Makassar, Banjarmasin, Balikpapan. Pernah juga
sampai ke luar negeri, seperti Malaysia, Hongkong, dan Jepang. Kini, omzet Suyani
telah mencapai angka 20-30 juta rupiah per bulan.
Ketika
ditanya apa yang menginspirasi Suyani dalam menjalankan bisnis makanannya, ia
mengaku ingin mempekerjakan banyak orang dan menciptakan bisnis yang memiliki
manajemen yang bagus sehingga ke depan dapat dinikmati hasilnya. Menurutnya,
jika dalam memulai bisnis kita tidak memiliki modal, maka kita yang harus
memiliki mental yang kuat.
Di
sesi terakhir, tim liputan bisnisUKM menanyakan kebanggaan terbesar apa yang
diraih Suyani dalam menjalankan bisnis
makanan khas
Malang-nya. “Kebanggan terbesar saya adalah saat saya bisa membuka usaha dengan
modal Rp 10.000,-. Namun tetap bisa survive sampai sekarang dan mulai menjadi
salah satu kompetitor yang layak diperhitungkan di Kota Malang.” ungkapnya.
Ada pepatahah Jepang yang mengatakan terjatuh
tujuh kali dan bangkit delapan kali. Nilai yang terkandung dari pepatah ini
adalah selalu ada kesempatan untuk bangkit, berapa kali pun kita terjatuh.
Kondisi seperti ini juga pernah dialami oleh Febrianti, pemilik Amleera Yoghurt. Bangkrut pada saat pertama memulai usaha, namun tak membuatnya surut. Dan tekad pantang menyerahnya itu yang membuatnya kemudian meraih sukses.
Febrianti atau yang biasa dipanggil Pepew ini memulai usaha pada Maret 2010. Ia benar-benar nekat dalam memulai usaha waktu itu. Memulai usaha pada usia 19 tahun dengan modal usaha hasil utang Rp 24 juta, jumlahnya tak tanggung-tanggung untuk seorang mahasiswi.
Bukan hanya usia muda dan utang yang cukup besar saja yang membuat Pepew terlihat nekat, ia juga berani meminjam uang hingga ke kepala jurusannya. Benar-benar nekat.
"Saya juga bingung waktu itu tidak malu sama sekali untuk utang. Padahal kalau sekarang bayangin, kayaknya malu banget kalau harus melakukan lagi," kenang Pepew seperti dikutip dari myoyeah.com, Kamis (7/11/2013)
Kondisi seperti ini juga pernah dialami oleh Febrianti, pemilik Amleera Yoghurt. Bangkrut pada saat pertama memulai usaha, namun tak membuatnya surut. Dan tekad pantang menyerahnya itu yang membuatnya kemudian meraih sukses.
Febrianti atau yang biasa dipanggil Pepew ini memulai usaha pada Maret 2010. Ia benar-benar nekat dalam memulai usaha waktu itu. Memulai usaha pada usia 19 tahun dengan modal usaha hasil utang Rp 24 juta, jumlahnya tak tanggung-tanggung untuk seorang mahasiswi.
Bukan hanya usia muda dan utang yang cukup besar saja yang membuat Pepew terlihat nekat, ia juga berani meminjam uang hingga ke kepala jurusannya. Benar-benar nekat.
"Saya juga bingung waktu itu tidak malu sama sekali untuk utang. Padahal kalau sekarang bayangin, kayaknya malu banget kalau harus melakukan lagi," kenang Pepew seperti dikutip dari myoyeah.com, Kamis (7/11/2013)
Kenekatannya tersebut ternyata dianggap brilian oleh civitas akademik di
Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Bandung (UPI)
dan ia dinobatkan sebagai ikon Young Womanpreneur di kampusnya. Hal tersebut
membuatnya bangga dan semakin bersemangat untuk menjalankan usaha. Sayang
kebanggaan tersebut hanya seumur jagung, tidak lebih dari dua bulan.
Setelah dua bulan menjalankan usaha, hasilnya tak semanis gelar Womanpreneur yang disandangnya. Tak ada keuntungan berlimpah yang masuk ke kantongnya. Yang datang justru tagihan-tagihan dari para kreditor yang meminta hak mereka untuk dikembalikan.
Sementara uang modal tinggal Rp 1 juta. Lunglai rasanya seluruh badan dan tulang seperti dilolosi. Dengan berat ia menutup tokonya yang hanya bertahan selama dua bulan.
“Rasanya malu sekali waktu itu. Untuk menutup usaha tersebut saya benar-benar hampir tak punya muka. Bagaimana saya yang dijadikan ikon entrepreneur muda menjalankan usaha dua bulan saja sudah tutup. Apalagi untuk ke kampus bertemu dengan teman-teman, berat sekali rasanya,” kenang Pepew.
Setelah dua bulan menjalankan usaha, hasilnya tak semanis gelar Womanpreneur yang disandangnya. Tak ada keuntungan berlimpah yang masuk ke kantongnya. Yang datang justru tagihan-tagihan dari para kreditor yang meminta hak mereka untuk dikembalikan.
Sementara uang modal tinggal Rp 1 juta. Lunglai rasanya seluruh badan dan tulang seperti dilolosi. Dengan berat ia menutup tokonya yang hanya bertahan selama dua bulan.
“Rasanya malu sekali waktu itu. Untuk menutup usaha tersebut saya benar-benar hampir tak punya muka. Bagaimana saya yang dijadikan ikon entrepreneur muda menjalankan usaha dua bulan saja sudah tutup. Apalagi untuk ke kampus bertemu dengan teman-teman, berat sekali rasanya,” kenang Pepew.
Bermodal sisa uang Rp 1 juta, ia pun memulai usahanya dengan cara yang
menurutnya tak kalah memalukan. Ia membuka gerai yoghurt lagi dengan sebuah
meja kecil di pinggir jalan di dekat rumahnya. Kali ini tanpa ada karyawan yang
membantu seperti ketika membuka toko di Jalan Trunojoyo. Ia membuka “toko”
pinggir jalannya pada Agustus 2010 di bulan Ramadhan, 2 bulan setelah tokonya
tutup.
Niat baiknya untuk melunasi kewajibannya ternyata berbuah manis. Di akhir bulan ketika menghitung omzet warung pinggir jalannya, ternyata hasilnya cukup mengagetkan.
Ia mendapatkan omzet Rp 10 juta hanya dengan bermodal meja 1×1 meter dan berjualan di pinggir jalan. Hasil ini membuat Pepew bersemangat lagi. Rasa malu yang sempat menghiasi wajahnya langsung ia tanggalkan dan melanjutkan usaha ini dengan percaya diri.
Dari omzet Rp 10 juta tersebut ia mulai mencicil utangnya. Dan “toko” pinggir jalannya tersebut ternyata cukup ampuh. Dalam waktu tiga bulan omsetnya terus menanjak dan dia sudah bisa membuka gerai lagi di kampusnya. Warung pinggir jalan Pepew sedikit demi sedikit mulai mengangkat dagunya.
Ia tak harus tertunduk lesu dan malu ketika ke kampus. Yang paling membuat bangga tentu saja sedikit demi sedikit ia berhasil melunasi utangnya dan semua bisa diberesi setelah enam bulan.
Toko meja pinggir jalan menjadi titik balik bagi Pepew. Sekarang dia sudah memiliki kedai di Jalan Cihaurgeulis No .4 Bandung. Selain itu ada dua gerai lagi di Bandung dan masing-masing satu di Jakarta dan Cirebon.
Setelah merasakan pahitnya terjerembab dalam kegagalan dan manisnya keberhasilan, Pepew sekarang ini punya mimpi untuk membuka pusat jajalan yoghurt dengan konsep bar.
Jatuh bangunnya Pepew telah membuktikan bahwa ia memang tepat memilih nama brand Almeera yang artinya cewek yang tangguh. Ketangguhan Pepew sekarang ini telah berbuah manis.
“Saya sadar sekarang bahwa yang bisa membuat saya bangkit itu bukan orang lain, tapi diri kita sendiri,” tutup Pepew.
Niat baiknya untuk melunasi kewajibannya ternyata berbuah manis. Di akhir bulan ketika menghitung omzet warung pinggir jalannya, ternyata hasilnya cukup mengagetkan.
Ia mendapatkan omzet Rp 10 juta hanya dengan bermodal meja 1×1 meter dan berjualan di pinggir jalan. Hasil ini membuat Pepew bersemangat lagi. Rasa malu yang sempat menghiasi wajahnya langsung ia tanggalkan dan melanjutkan usaha ini dengan percaya diri.
Dari omzet Rp 10 juta tersebut ia mulai mencicil utangnya. Dan “toko” pinggir jalannya tersebut ternyata cukup ampuh. Dalam waktu tiga bulan omsetnya terus menanjak dan dia sudah bisa membuka gerai lagi di kampusnya. Warung pinggir jalan Pepew sedikit demi sedikit mulai mengangkat dagunya.
Ia tak harus tertunduk lesu dan malu ketika ke kampus. Yang paling membuat bangga tentu saja sedikit demi sedikit ia berhasil melunasi utangnya dan semua bisa diberesi setelah enam bulan.
Toko meja pinggir jalan menjadi titik balik bagi Pepew. Sekarang dia sudah memiliki kedai di Jalan Cihaurgeulis No .4 Bandung. Selain itu ada dua gerai lagi di Bandung dan masing-masing satu di Jakarta dan Cirebon.
Setelah merasakan pahitnya terjerembab dalam kegagalan dan manisnya keberhasilan, Pepew sekarang ini punya mimpi untuk membuka pusat jajalan yoghurt dengan konsep bar.
Jatuh bangunnya Pepew telah membuktikan bahwa ia memang tepat memilih nama brand Almeera yang artinya cewek yang tangguh. Ketangguhan Pepew sekarang ini telah berbuah manis.
“Saya sadar sekarang bahwa yang bisa membuat saya bangkit itu bukan orang lain, tapi diri kita sendiri,” tutup Pepew.
Sumber dari :
0 komentar:
Posting Komentar